Varla Dhewiyanty
Miranti memandang daun
akasia yang gugur. Ada bayangan Sita sedang berlarian. Lalu bayangan itu
tenggelam bersama dengan bayangan lain.
“Aku mau tersenyum sama Mama aja….”
***
“Pulang jam
berapa, Mir? Ini kan hari libur, jangan lama-lama. Sita juga ingin main
denganmu.” Begitu bunyi pesan singkat dari Adam, suaminya. Sebaris pesan
singkat lalu diketiknya perlahan… tak
lama lagi, Mas.
“Ini hari Minggu, kenapa anakmu tak kau bawa, Mir?”
tanya Tiara. Setelah mengetuk ikon send
ia pun menoleh pada sahabatnya itu.
“Hari kebebasan…,” Miranti tersenyum.
“Aku kangen pada Sita…,” kata Tiara kemudian. Miranti
memperhatikan raut wajah sahabatnya. Tiara telah menikah tujuh tahun dan belum
dikaruniai anak. Ia memang sangat senang sekali jika bertemu dengan anak dari sahabat-sahabatnya.
Miranti memandang lima temannya yang lain. Mereka sedang
bercengkrama sambil tentunya, foto-foto. Mereka bertujuh adalah teman se-gank
sejak bangku kuliah hingga ketika telah berkeluarga pun, mereka tetap sering
bertemu. Seperti di restoran saat ini.
”Mbak bisa tolong foto kami?” Miranti memanggil
seorang pelayan untuk mengambil gambar mereka semua dengan tabletnya. Setelah
selesai ia lalu meng-edit foto mereka sedikit dan menguploadnya,”Reuni lagiii…,”tulis Miranti.
“Langsung tag aku Mir,”ujar Melia, sahabat Miranti
yang lain.
“Iyaaa, kalian semua langsung aku tag nih,”Miranti tersenyum.
Kumpulan sahabat itu pun kembali asyik dengan gadget
mereka masing-masing. Sibuk men-share
apa yang sedang mereka lakukan saat ini di media sosial.
***
“Mamaaa…,“Sita
berlari menuju Miranti yang baru saja pulang
bekerja di hari Senin. Seharian ia tak bertemu mamanya. Ketika ia bangun tidur,
sang mama telah berangkat ke kantor. Bi Minah dan Mang Andi yang mengantarnya
ke TK. Sepulang dari TK pun ia kembali menghabiskan waktu bersama Bi Minah.
Makan, tidur siang, nonton tv, mengerjakan PR mewarnai, semuanya ditemani oleh
Bi Minah pengasuhnya.
“Hai sayang,
sudah mandi ya?” Miranti mengelus kepala Sita.
“Sudah sama Bibi,”jawab Sita,”Main yuk Ma, di taman
belakang….”
“Iya boleh, Sayang, tapi Mama mandi dulu ya? Sita
minta diganti gih bajunya sama Bi Minah. Nanti kan mau difoto kayak biasa, masa
pakai baju rumah...."
"Untuk dimasukkin ke internet lagi yah,
Ma?"tanya Sita dengan huruf 'r' yang belum sempurna. Miranti tersenyum dan
mengangguk. Gadis kecil itu pun lekas beranjak pergi untuk menemui pengasuhnya.
Seusai mandi dan sedikit berdandan, Miranti menuju
taman belakangnya yang asri. Sita sedari tadi telah menantinya di sana. Bi
Narti, pembantu yang bertugas memasak, meletakkan beberapa kudapan yang lezat
serta minuman di atas meja. Ia sudah tahu kebiasaan majikannya. Sebelum
dinikmati, benda-benda ini akan difoto terlebih dahulu lalu foto itu akan
dikirim ke banyak orang. Begitulah yang difahaminya.
Melihat orange
juice yang menggiurkan di tas meja, Sita pun tergoda. Di raihnya gelas yang
telah diletakkan Bi Narti. Ternyata gelas itu terlalu berat untuk tangan
mungilnya. Gelas itu pun terlepas dari tangannya dan jatuh.
Miranti berteriak. Diraihnya gelas yang sudah jatuh.
Gelas itu tidak sepenuhnya pecah, namun timbul retakan di salah satu sisinya.
“Aduh Sita, ini gelas kesayangan Mama!”kata Miranti
dengan sedikit membentak. Mendengar bentakan itu, hati Sita pun langsung ciut.
Ia lalu berlari meninggalkan mamanya dengan berlinang air mata.
***
"Bisa gak sih ditaruh dulu tablet-mu itu,
Mir," tegur Adam. Hari Minggu itu mereka pergi berjalan-jalan ke taman
ria.
"Iya Mas, dikit lagi ini," Miranti sibuk
mengetik komentar balasan pada foto yang ia posting barusan. Fotonya bersama
Sita dan Adam di gerbang taman ria yang ia beri caption "quality time with family".
Mereka bertiga tampak tersenyum bahagia di foto itu.
Dalam waktu beberapa menit saja teman-teman instagram Miranti sudah banyak yang
mengomentari. Diantaranya ada Melia yang berkata,"Wah, sungguh keluarga kecil yang bahagia...."
Miranti senyum-senyum sendiri membaca semua komentar
yang masuk. Ia merasakan kepuasan tersendiri saat melakukan kegemarannya ini. Ketika
telah selesai membalas semua komentar, Miranti menoleh pada Adam. Ternyata Adam
sudah tak ada di sampingnya, begitu pula Sita….
Sita ada dimana? Miranti memandang ke segala arah.
Tak ditemukannya sosok Sita. Apakah Adam mengajak Sita pergi? tapi kemana? Ia
coba menghubungi Adam, namun hanya terdengar nada sibuk.
Miranti pun berjalan mencari Sita dan Adam. Di luar
gerbang Adam sempat berjanji pada Sita untuk membelikannya es krim. Hati
Miranti kini mulai diliputi rasa was-was. Apakah Adam juga mengajak Sita pergi untuk
mencari penjual es krim…, atau Adam meninggalkan Sita bersamanya kemudian Sita
pergi sendirian ketika ia sedang asyik dengan tabletnya? Ya Tuhan Sita…, pikir
Miranti, bagaimana jika ternyata Sita tidak bersama Adam dan ada orang yang
berniat jahat padanya...? Pemikiran itu membuat Miranti berjalan semakin cepat
sambil melihat-lihat ke sekelilingnya dengan gelisah. Sita… Sita… dimana kamu Nak…, ucapnya dalam hati.
Tepat ketika Miranti memutuskan akan melapor ke
pusat informasi, ia mendengar suara Sita memanggilnya dari kejauhan. Miranti
menoleh, dan kelegaan pun dengan segera menyelimuti hatinya. Sita berlari
mendatanginya sambil memegang es krim. Dilihatnya pula Adam yang berjalan
mengikuti langkah lincah putri semata wayang mereka. Sekalipun dari kejauhan…, Miranti
dapat dengan jelas merasakan tatapan dingin Adam padanya.
Adam kemudian mengajaknya dan Sita bersitirahat
sejenak di sebuah bangku. Sambil memandang Sita yang masih asyik menghabiskan
es krim, Adam bercerita tentang kasus-kasus penculikan anak yang semakin marak
saat ini. Kelalaian orang tua menjadi salah satu penyebabnya.
“Hobi kamu bermain internet membuat kamu lalai, Mir.
Apa kamu mau terjadi apa-apa pada Sita?”
Miranti menunduk dan memegang tabletnya erat-erat
sambil menahan perasaan. Ia tahu Adam sudah merasa tak nyaman dengan hobinya
ini. Sebenarnya ia pun merasa bersalah. Namun di sisi lain, ia tak suka
dikekang kemauannya.
***
Kelopak mata Miranti terbuka, tepat menghadap jam
dinding kamar yang menunjuk angka satu lewat seperempat. Tangannya kemudian
meraba-raba sisi lain ranjang. Sebentuk raga pun tersentuh oleh rabaan
tangannya itu. Adam sudah pulang dan langsung tidur seperti malam-malam
sebelumnya.
Miranti mengambil tablet dari meja di sebelah
ranjang, mengecek apakah ada notifikasi untuknya. Saat ia membuka kunci layar,
wallpaper wajah seorang gadis kecil pun menyambut. Hal itu membuatnya lupa akan
maksud awalnya.
Miranti lalu duduk di atas ranjang. Ujung jarinya
mengetuk ikon gallery dan kemudian sebuah folder berisikan foto-foto Sita.
Foto-foto penuh senyuman milik Sita. Senyuman yang ia tahu semuanya palsu.
Sebab semua senyum itu..., ia yang merancangnya.
***
Miranti sedang asyik membuka timeline media sosialnya. Di timeline
itu Miranti melihat banyak postingan dari teman, sahabat, maupun koleganya. Ada
foto Melia yang sedang liburan ke Singapura. Miranti menyentuh layar tablet-nya
dan baru saja akan mulai mengetik komentar untuk Melia ketika pintu kamarnya
perlahan terbuka. Sita masuk ke kamar sambil membawa sebuah buku gambar. Ia lalu
naik ke atas ranjang Miranti.
“Ma, tadi Ibu Guru bilang gambarku bagus….”
Miranti melirik sekilas pada gambar Sita yang memperlihatkan
anak perempuan berkepang dua dan seekor kucing berwarna cokelat. "Bagus,
Sayang...,"komentarnya singkat. Melihat mamanya seakan tak berminat, Sita
lalu menunduk dan hanya memandangi gambarnya.
Ekspresi kesedihan Sita tertangkap oleh Miranti. Dengan
harapan Sita akan kembali ceria, ia pun mengajak Sita foto-foto wefie berdua. Dirangkulnya Sita ke
sampingnya dan diaturnya fungsi kamera depan tablet, namun kemudian di layar ia
melihat wajah Sita masih tampak murung.
"Ayo, senyum ke kamera dong, Sita."
"Untuk apa, Ma, kan udah sering...."
"Supaya orang tahu bahwa kita selalu bahagia,
Sayang."
"Kenapa mereka mesti tahu kalau kita
bahagia...?"
Miranti berpikir sejenak sebelum menjawab. Di satu
sisi ia sadar jawaban pertanyaan polos itu adalah 'orang tidak harus selalu
tahu, sih'. Namun setelah itu justru kata-kata sebaliknya yang keluar begitu
saja dari lisannya.
Miranti berkata pada Sita bahwa dengan membuat orang
tahu bahwa kita sedang happy, maka
kita akan semakin happy. Ia juga
berkata akan memberi judul foto mereka 'becandaan
sama anakku yang cantik' dan nanti teman-teman mamanya seperti Tante Melia
dan Tante Tiara juga akan senang melihat foto mereka. Mereka akan berkomentar
bahwa Sita memang anak yang cantik dan Miranti adalah ibu yang sangat berbahagia
karena memilikinya.
Sayangnya meskipun Miranti telah membujuknya, Sita
hanya menjawab,"Aku mau tersenyum sama Mama aja. Gak mau dilihat
orang-orang...."
Miranti menghela nafas. Kalau sudah merajuk begini
Sita susah dibujuknya.
***
"Bu, tadi pas mau masak nasi goreng untuk Bapak
dan Ibu saya nunduk ke bawah meja buat ngambil bawang yang jatuh, Bu. Terus
saya nemuin ini...," Bi Narti menunjukkan sebuah bungkusan plastik
berisikan kurang lebih sepuluh buah tempe daun yang sudah busuk. Miranti
meringis melihat benda yang ditunjukkan Bi Narti. Pagi itu ia baru saja akan
menyeduh teh untuknya dan Adam.
Bi Narti pun lalu mulai berkicau tentang kecerobohan
Bi Minah. Dikatakan Bi Narti ia pernah meminta tolong pada Bi Minah untuk
membantu membereskan belanjaan dan bungkusan tempe ini pastilah terlupakan oleh
rekannya itu.
“Minah memang paling payah dalam urusan dapur Bu,
tidak seperti saya. Namun saya akui ia memang paling ahli mengurus Si….”
Bi Narti tiba-tiba membiarkan ucapannya menggantung.
Dalam hatinya ia tahu telah salah bicara. Ditatapnya sang majikan yang hanya
terus mengaduk-aduk tehnya dalam kesunyian. Tanpa menanggapi.
***
Sementara kudapan sore tersaji di meja, seperti
biasa Miranti sibuk dengan gadget-nya. Pada layar terpampang foto Sita yang sedang
menikmati puding buatannya barusan. Ia lalu mulai mengetik pada kolom caption,"Senengnya Sita suka puding
buatanku...."
Tiara yang tadinya sedang bermain ayunan bersama
Sita kemudian berjalan mendekati Miranti. Hari ini ia pulang kantor bersama
Miranti sekaligus mampir ke rumahnya. Ia sudah kangen sekali pada Sita.
"Mir," panggil Tiara, Miranti
menoleh,"Kuperhatikan kamu terlalu sibuk sama dirimu sendiri. Kasihan Sita
kalau kamu begini terus...." Tiba-tiba Miranti menghela nafas berat dan
menampakkan wajah tak suka. Ia yakin betul kalau sahabatnya ini akan mulai
menceramahinya.
Tiara lalu duduk di samping Miranti. Ia tahu mungkin
Miranti sudah bosan dengan nasihatnya. Hanya saja dalam hatinya ia berkata,
seandainya saja ia bisa punya anak seperti Sita.... Anak seperti siapapun....
Tak terasa air matanya menitik. Rasa kesal terhadap
Miranti telah menumpuk di benaknya. Sudah cukup ia mendengar segala tingkah
laku Miranti yang diceritakan Adam. Sudah cukup pula ia melihat langsung segala
ketidaksensitifan Miranti terhadap Sita. Hingga perasaan itu mampu membuat
lisannya mengeluarkan sebuah kalimat.
"Kalau kau tak bisa mensyukuri nikmat yang kau
punya, Tuhan dapat saja mengambil nikmat itu, Mir...."
***
Daun akasia berguguran. Angin dingin berhembus
pelan.
“Kesalahan ini jangan sampai terulang.”kata Adam.
Miranti hanyut dalam tangisnya. Tangis penyesalan. Ia
yang sibuk dengan tabletnya telah lalai mengawasi Sita sehingga Sita
terserempet sebuah motor berkecepatan tinggi.
Miranti menatap gundukan tanah di hadapannya yang
bertaburan kembang berbagai warna. Perlahan ia merasa raganya seolah hilang
dibawa angin.
[Senyum Sita-END]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar